Kamis, 15 Mei 2014

makalah askep teoritis cedera kepala



MAKALAH KMB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS PADA KLIEN DENGAN CEDERA KEPALA

DISUSUN

O
L
E
H


HARLEN SEPTIANI TASIL


DOSEN PEMBIMBING:
Ns. Rizka Austrianti, S.Kep


PRODI: DIII KEPERAWATAN



STIKES MERCUBAKTIJAYA PADANG
2012/2013







KATA PENGANTAR


          Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayahNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas keperawatan KMB III dengan judul “Asuhan Keperawatan Teoritis pada Klien dengan Cedera Kepala“ yang merupakan salah satu persyaratan akademik dalam pelaksanaan pendidikan.
          Dalam penyusunan tugas ini kami berusaha semaksimal mungkin namun kemampuan kami sangat terbatas, sehingga penyusunan tugas ini jauh dari sempurna, dan kami menyadari akan segala kekurangan dalam penyusunan tugas ini. Kami mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan tugas makalah ini dan kesempatan penulis selanjutnya.
          Kami mengucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas ini.Semoga bermanfaat bagi penyusun khususnya dan pembaca pada umumnya.








Padang, 12 April 2014



Penulis









BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Banyak istilah yang dipakai dalam menyatakan suatu trauma atau cedera pada kepala di Indonesia. Beberapa rumah sakit ada yang memakai istilah cidera kepala dan cedera otak sebgai suatu diagnosis medis untuk suatu trauma pada kepala, walaupun secara harafiah kedua istiah tersebut sama karena memakai gradasi respons Glasgow Coma Scale (GCS) sebagai tingkat gangguan yang terjadi akibat suatu cedera di kepala.
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan akibat trauma yang mencederai kepala, maka perawat perlu mengenal Neuroanatomi, Neurofisiologi serta Neuropatofisiologi dengan baik agar kelainan dari masalah yang dikeluhkan atau kelainan dari pengkajian fisik yang didapat bisa sekomprehensif mungkin ditanggapi perawat yang melakukan asuhan pada klien dengan cedera kepala.
Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Secara anatomis otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala, serta tulang dan tentorium ( helm ) yang membungkusnya.
Tanpa perlindungan ini otak akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu sekali neuron rusak, tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari cedera dan banyak lainnya timbul sekunder dari cedera.
Efek-efek ini harus dihindari dan ditemukan secepatnya oleh perawat untuk menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental dan fisik, bahkan kematian. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologis yang serius diantara penyakit neurologis, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Diperkirakan 2/3 korban dari kasus ini berusia dibawah 30 tahun, dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengan dari semua klien cedera kepala berat mempunyai signifikansi terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Adanya syok hipovolemik pada klien cedera kepala biasanya karena cedera bagian tubuh lainnya. Resiko utama klien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat pendarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
Pada beberapa literatur terakhir dapat disimpulkan bahwa cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tidak disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Berdasarkan GCS, cedera kepala atau cedera otak dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu:
1.      Cedera kepala ringan / cedera otak ringan , bila GCS : 13-15.
2.      Cedera kepala sedang / cedera otak sedang, bila GCS : 9-12.
3.      Cedera kepala berat / cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8.

Pada klien yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misalnya oleh karena afasia, maka reksi verbal diberi tanda “X” , atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga tidak dapat dinilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai “X” , sedangkan jika klien dilakukan trakeostomi atau dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai “T”.
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan ( akselerasi-deselerasi ) pada otak.

B.     TUJUAN

1.      Tujuan Umum
Mampu melaksanakan asuhan keperawatan secara komprehensif pada klien dengan Cedera Kepala Ringan.

2.      Tujuan Khusus

a.        Dapat melakukan pengkajian keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala Ringan dari aspek bio, psikososial dan spiritual.
b.      Dapat merumuskan diagnosis keperawatan dan menentukan prioritas masalah pada klien dengan Cedera Kepala Ringan.
c.       Merencanakan tindakan keperawatan berdasarkan diagnosis keperawatan serta dapat melaksanakan rencana tindakan pada klien dengan Cedera Kepala Ringan
d.      Dapat mengevaluasi hasil akhir terhadap tindakan keperawatan yang telah diberikan pada klien dengan Cedera Kepala Ringan.







BAB II
KONSEP DASAR

A.    DEFINISI

Cidera kepala adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai / tanpa perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas dari otak ( P.Syamsuhidayat, dkk, 1996, 1110 ).

Cidera kepala adalah trauma pada otak yang disebabkan adanya kekuatan fisik dari luar yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran. Akibatnya dapat menyebabkan gangguan kognitif, gangguan tingkah laku, atau fungsi emosional. Gangguan ini dapat bersifat sementara atau permanen, menimbulkan kecacatan baik partial atau total dan juga gangguan psikososial. (Donna, 1999)

Cidera kepala adalahsuatu keadaan traumatic yang mengenai otak dan menyebabkan perubahan-perubahan fisik, intelektual, emosional, social, dan vokasional. (Joyce, M Black, 1997)

Cedera kepala adalah suatu bentuk trauma yang dapat merubah kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan aktifitas fisik, intelektual, emosional, sosial dan pekerjaan atau gangguan traumatic yang menimbulkan perubahan fungsi otak (Black M. 1997).

Cedera kepala pada intinya menyatakan suatu cedera akut pada ssuunan saraf pusat, selaput otak, saraf kranial termasuk fraktur tulang kepala, kerusakan jaringan lunak pada kepala dan wajah, baik terjadi secara langsung (kerusakn primer) maupun tidak lansung (kerusakan sekunder), yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis berupa gangguan fisik, kognitif dan fungsi psikososial baik bersifat sementara atau menetap.

B.     ANATOMI FISIOLOGI

a.      Anatomi kepala
Tengkorak terbagi atas
1.      Tengkorak Otak
Tengkorak otak menyelubingi otak dan alat pendengar. Tengkorak otak terdiri dari :
a)      Kubah tengkorak
Kubah tengkorak yang berbentuk cembung menyelubungi rongga tengkorak dari atas dan dari sisi. Kubah tengkorak terdiri atas beberapa tulang ceper yang dihubungkan oleh sutura tengkorak. Dari depan ke belakang terdapat berturut-turut sebuah tulang dahi, sepasang tulang ubun-ubun dan sebuah tulang belakang kepala. Pada dinding sisi kubah tengkorak terdapat sepasang tulang pelipis. Tulang dahi, tulang belakang kepala turut pula membentuk dasar tengkorak ( lihat gambar 1 ).

b)      Dasar Tengkorak
Bagian dasar tengkorak dapat dibedakan 3 bagian, yaitu lekuk tengkorak depan, lekuk tengkorak tengah dan lekuk tengkorak belakang. Bagian tengah dasar lekuk tengkorak depan dibentuk oleh tulang lapisan yang mempunyai banyak lubang halus untuk memberi jalan kepada serabut-serabut saraf penghidu, oleh karena itu bagian tulang lapisan tersebut dinamakan lempeng ayakan yang merupakan atap bagi rongga hidung.
Lekuk tengkorak tengah terdiri dari atas bagian tengah dan dua bagian sisi, bagian tengah adalah pelana turki. Dasar lekuk tengkorak belakang letaknya lebih rendah daripada dasar lekuk tengkorak depan. Lekuk tengkorak belakang letaknya lebih rendah lagi daripada lekuk tengkorak tengah (lihat gambar 1).

2.      Tengkorak Wajah
Tengkorak wajah letaknya di depan dan di bawah tengkorak otak. Lubang-lubang lekuk mata dibatasi oleh lubang dahi, tulang pipi dan tulang rahang atas. Dinding belakang lekuk mata juga dibentuk oleh tulang baji (sayap besar dan kecil). Dinding dalamnya dibentuk oleh tulang langitan, tulang lapisan dan tulang air mata. Selain oleh toreh lekuk mata atas dan oleh lubang untuk saraf penglihat maka dinding lekuk mata itu tembus oleh toreh lekuk mata bawah yang terletak antara tulang baji, tulang pipi dan tulang rawan atas. Toreh itu mangarah ke lekuk wajah pelipis. Tulang air mata mempunyai sebuah lekuk yang jeluk, yaitu lekuk kelenjar air mata yang disambung ke arah bawah oleh tetesan air mata yang bermuara di dalam rongga hidung (lihat gambar 1).
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjq1IbpBZVvD8w4IiO44YGLB_jf0SCdxN2wszebt5d71H4VAGEQAvmTx-mjaKwvCpqB7E338oMp1-8TDt5RR0Yn_W-KQtZaC8SZeAFwvvAfV_ouTs3WlieRXR7vm0mcKvVAyLtUmIS3av4/s1600/Tengkorak.jpg
b.      Kulit kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan sebagai scalp, yaitu :
a.       kulit
b.      jaringan penyambung (connective tissue)
c.       galae aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan tengkorak.
d.      Perikranium.
Kulit kepala banyak memiliki pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan mengakibatkan banyak kehilangan darah, (American College of Surgeons 1997)
c.       Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kalvakrium dan basis kranii. Rongga tengkorak dasar adalah tempat lobus frontalis, fosa medis adalah tempat lobus temporalis dan fosa posterior adalah ruang bagi batang otak bawah dan serebelum, (American College of Surgeons 1997)

d.      Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak yang terdiri dari 3 lapisan, yaitu dura meter, arakhnoid dan pia meter. Dura meter adalah selaput keras terdiri atas jaringan  ikat fibrosa yang melekat erat dan tabula interna atau bagian dalam kranium. Di bawah dura meter terdapat lapisan kedua yang tipis dan tembus pandang di sebut selaput arakhnoid. Lapisan ketiga adalah pia mater yang melekat pada permukaan kortek serebri, (American College of Surgeons 1997

e.       Sistem Saraf Pusat (SSP)
Yang disebut sistem saraf pusat di sini adalah otak dan medula spinalis yang tertutup di dalam tulang dan terbungkus dalam selapu-selaput (meningen) pelindung, serta rongga yang berisi cairan (lihat gambar 2).
1.      Otak dan pembagiannya
Otak secara garis besar dapat dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu : serebrum, batang otak, dan serebelum.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhg-ISUxobL4XFl_7JSt9g8ayLK0vMpcFA8YiGyVt7Unr6DmPfOg6ELkKyo_jrxwwLWOeiLG3NtNPWSs1fhnhEKofNgAz_wGPevz6x_pFgtJSgQnmiEuv3jBE7AzSGdEvgPZhGigJr05lMu/s320/otak.jpg

a.       Serebrum
Setiap hemisfer dibagi atas empat lobus yaitu : lobus frontalis, parietal, oksipital, temporalis. Fungsi dari setiap lobus berbeda-beda. Berikut penjelasan dari masing-masing fungsi lobus :
1)      Lobus Frontalis, bagian depan bekerja untuk proses belajar, merancang, psikologi, lobus frontalis bagian belakang untuk proses motorik termasuk bahasa (lihat gambar 3)
2)       Lobus parietal, bekerja  khusus untuk sensorik somatik (misal sensibilitas kulit) dan peran asosiasinya, beberapa areanya penting bagi proses kognitif dan intelektual (lihat gambar 3).
3)       Lobus Oksipital, merupakan area pengoperasian penglihatan (lihat gambar 3).
4)       Lobus temporalis, merupakan pusat pendengaran dan asosiasinya, beberapa pusat bicara, pusat memori. Bagian anterior dan basal lobus temporalis penting untuk indra penghidu (lihat gambar 3).

b.      Batang Otak
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblongata. Masing-masing struktur mempunyai tanggung jawab yang unik dan fungsi ketiganya sebagai unit untuk menjalankan saluran impuls yang disampaikan ke serebri dan lajur spinal (lihat gambar 2)
1)      Otak Tengah, merupakan bagian pendek dari batang otak yang letaknya di atas pons. Bagian ini terdiri dari bagian posterior yaitu tektum yang terdiri dari bagian bagian kolikuli superior dan kolikuli inferior dan bagian anterior yaitu pedunkulus serebri. kolikuli superior  berperan dalam refleks penglihatan dan koordinasi gerakan penglihatan, sedangkan kolikuli inferior berperan dalam reflek pendengaran, misalnya menggerakkan kepala ke arah datangnya suara. Pedunkulus serebri terdiri dari berkas serabut-serabut motorik yang berjalan turundari serebelum.
2)      Pons, terletak diantara otak tengah dan medula oblongata. Pons berupa jembatan serabut-serabut yang menghubungkan kedua hemisfer serebelum, serta menghubungkan mesensefalon di sebelah atas dengan medula oblongata bawah. Pons merupakan mata rantai penghubung yang penting pada jaras kortikoserebelaris yang menyatukan hemisfer serebri dan serebelum.bagian bawah pons berperan dalam pengaturan saraf kranial trigeminus, abdusen dan fasialis (lihat gambar 2)
3)      Medula Oblongata, terletak diantara pons dan medula spinalis. Pada medula ini merupakan pusat refleks yang penting untuk jantung. Vasokonstriktor, pernapasan,bersin,batuk,menelan, pengeluaran air liur dan muntah.

c.       Serebelum
      Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh durameter yang menyerupai atap tenda, yaitu tentorium yang menisahkan dari bagian posterior serebrum. Serebelum terdiri dari bagian tengah, vermis dan dura hemisfer lateral. Serebelum dihubungkan dengan batang otak oleh tiga berkas serabut yang dinamakan pedunkulus. Pendukulus serebeli superior berhubungan dengan mesensefalon ; pendukulus serebeli media menghubungkan kedua hemisfer otak ; sedangkan pendukulus serebeli inferior berisi serabut-serabut traktus spinosere belaris dorsalis dan berhubungan dengan medula oblongata. Semua aktivitas serebelum berada di bawah kesadaran. Fungsi utama serebelum adalah sebagai pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperluas gerakan otot, serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh.

2.      Medula Spinalis
        Medula spinalis terletak di dalam kanalis neural dari kolumna vertebra, berjalan ke bawah dan memenuhi kanalis neural sampai setinggi vertebra lumbalis kedua. Sepasang saraf spinalis berada diantara pembatas vertebra sepanjang kolumna vertebra. Di bawah ujung tempat medula spinalis berakhir. Di dalam ujung tempat medula spinalis terletak interneuron, serabut sensori, asenden, serabut motorik desenden dan badan sel saraf dan dendrit somatik sekunder (volunter) dan motor neurons otonom utama. Area sentral medula spinalis merupakan massa abu-abu yang mengandung badan sel saraf dan neuron internunsial (lihat gambar 2)

f.       Sistem Saraf Tepi (SST)
      Menurut Price & Wilson, (1995) susunan saraf tepi terdiri dari saraf kranial bervariasi, yaitu sensori motorik dan gabungan dari kedua saraf. Saraf motorik dipersarafi oleh beberapa percabangan saraf kranial, 12 pasang saraf kranial adalah :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgQ4eiT0XeBQGpje3jxJrfQxt_CDPSYIf9D5-jlBXuj-m7XZ2usa7UxfBhbtCad1bQeG5hd2epSmLFG2om3jAFxvlbc8bBHqJI3toLaTikgpkql933dme-cS8AHPp0BwJYYu3hmGtn9P98/s1600/nervus.jpg

1)      Nervus I (Olfaktorius)                   : Sifatnya sensorik mensarafi hidung membawa rangsangan aroma (bau-bauan) dari aroma rongga hidung ke otak.
2)      Nervus II (Optikus)                        : Sifatnya sensorik, mensarafi bola mata membawa rangsangan penglihatan ke otak
3)      Nervus III (Okulomotorius)           : Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital (otot penggerak bola mata)             / sebagai pembuka bola mata.
4)      Nervus IV (Trochlear)                   : Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital, sebagai pemutar bola mata
5)      Nervus V  (Trigeminus)                 : Sifatnya majemuk (sensorik- motorik) bertanggung jawab untuk pengunyah.
6)      Nervus VI  (Abdusen)                    : Sifatnya motorik, sebagai pemutar bola mata ke arah luar
7)      Nervus VII (Fasial)                       : Sifatnya majemuk (sensorik- motorik), sebagai mimik wajah dan menghantarkan rasa pengecap, asam, asin dan manis.
8)      Nervus VIII (Vestibulokokhlearis): Sifatnya sensorik, saraf kranial ini mempunyai dua bagian sensoris yaitu auditori dan vestibular yang berperan sebagai penterjemah.
9)      Nervus IX (Glosofharyngeal)        : Berperan dalam menelan dan respons sensori terhadap rasa pahit di lidah.
10)  Nervus X (Vagus)                          : Sifatnya majemuk (sensorik- motorik) mensarafi faring, laring dan platum
11)  Nervus XI (Asesoris)                     : Sifatnya motorik, saraf ini bekerja sama dengan vagus untuk memberi informasi ke otot laring dan faring.
12)  Nervus XII (Hipoglosal)                : Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot lidah.
g.      Sistem Saraf Otonom (SSO)
      Sistem Saraf Otonom merupakan sistem saraf campuram. Serabut-serabut aferennya membawa masukan dari organ-organ viseral (menangani pengaturan denyut jantung, diameter pembuluh darah, pernafasan, percernaan makanan, rasa lapar, mual, pembuangan dan sebagainya). Saraf aferen motorik SSO mempersarafi otot polos, otot jantung dan kelenjar-kelenjar viseral-SSO terutama menangani pengaturan fungsi viseral dan interaksinya dengan lingkungan dalam.
      Sistem Saraf Otonom dibagi menjadi dua bagian  : Bagian Pertama adalah Sistem Saraf Otonom parasimpatis (SSOp) dan Sistem Saraf Otonom simpatis (SSOs), bagian simpatis meninggalkan sistem saraf pusat dari daerah thorakal dan lumbal (torakolumbal) medula spinalis. Bagian parasimpatis ke luar otak (melalui komponen-komponen saraf karanial) dan bagian sakral medula spinalis (kraniosakral).
      Fungsi simpatis adalah peningkatan kecepatan denyut jantung dan pernapasan, serta menurunkan aktivitas saluran cerna.tujuan utama fungsinya adalah mempersiapkan tubuh agar siap menghadapi stress atau apa yang dinamakan respon bertempur/ lari.
      Fungsi parasimpatis adalah menurunkan kecepatan denyut jantung dan pernapasan dan meningkatkan pergerakan saluran cerna sesuai dengan kebutuhan pencernaan dan pembuangan. Jadi saraf parasimpatis membantu konservasi dan hemostatis fungsi-fungsi tubuh.

Cairan Serebrospinal     
      Fungsi cairan serebrospinal adalah sebagai penahan getaran, menjaga jaringan SSP yang sangat halus dari benturan terhadap struktur tulang yang mengelilinginya dan dari cedera mekanik. Juga berfungsi dalam pertukaran nutrien antara plasma dan kompartemen selular. Cairan serebrospinal merupakan filtrat plasma yang dikeluarkan oleh kapiler di atap dari keempat ventrikel otak. Seperti yang telah disebutkan, ini serupa dengan plasma minus plasma protein yang besar, yang ada di balik aliran darah. Sebagaian besar cairan ini dibentuk dalam ventrikel bagian lateral, yang terletak pada masing-masing hemisfer serebri. Cairan mengalir dari ventrikel lateral ini melalui duktus ke dalam ventrikel ketiga diensefalon. Dari ventrikel ketiga cairan mengalir melalui aquaduktus Sylvius midbrain dan masuk ke ventrikel keempat medula. Kemudian sebagian dari cairan ini masuk melalui lubang (foramen) di bagian atas dari ventrikel ini dan masuk ke dalam spasium subarakhnoid (sejumlah kecil berdifusi ke dalam kanalais spinalis). Dalam spasium subarakhnoid, CSS diserap kembali ke dalam aliran darah pada tempat tertentu yang disebut pleksus subarakhnoid
      Pembentukan dan reabsorbsi CSS diatur oleh tekanan osmotik koloid dan hidrostatik yang sama yang mengatur perpindahan cairan dan partikel-partikel kecil antara plasma dan kompartemen cairan interstisial tubuh. Secara singkat direview, kerja dari tekanan ini adalah sebagai berikut : dua tim yang berlawanan dari tekanan mendorong dan menarik mempengaruhi gerakan air dan partikel-partikel kecil melalui membran kapiler semipermiabel. Satu tim terdiri atas tekanan osmotik plasma dan tekanan hidostatik CSS. Ini memudahkan gerakan air dari kompartemen CSS ke dalam plasma. Gerakan air dari arah yang berlawanan dipengaruhi oleh tim dari tekanan hidrostatik plasma dan tekanan osmotik CSS. Tim yang berpengaruh bekerja secara simultan dan kontinu. Dalam ventrikel, aliran CSS menurunkan tekanan hidrostatik CSS. Hal ini memungkinkan tim bersama mempengaruhi gerakan air dan partikel kecil dari plasma ke ventrikel.
      Tekanan hidrostatik darah yang rendah dalam sinus venosus bersebelahan dengan vili arakhnoid menunjukkan skala untuk gerakan air dan terlarut dari kompartemen CSS kembali ke dalam aliran darah. Kematian sel-sel yang  melapisi kompartemen CSS akan mengeluarkan protein ke dalam CSS.  Ini akan meningkatkan tekanan osmotik CSS dan memperlambat reabsorbsi (sementara juga mempercepat pembentukan bila kerusakan terjadi di dalam dinding ventrikel). Peningkatan protein CSS karena hal ini atau penyebab lain dapat merangsang atau mencetuskan kondisi kelebihan CSS yang disebut hidrosefalus.

Tekanan Intrakranial
      Menurut American College of Surgeon, (1997) berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan kenaikan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap kesudahan penderita. Dan tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi yang mengganggu fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Jadi kenaikan intrakranial tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mm H2O), TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40 mmHg termasuk dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya.

C.    ETIOLOGI

1.      Cidera setempat (benda tajam)
Trauma benda tajam yang masuk kedalam tubuh merupakan trauma yang dapat menyebabkan cedera setempat atau kerusakan terjadi terbatas dimana benda tersebut merobek otak.
misal: pisau, peluru atau berasal dari serpihan atau pecahan dari fraktur tengkorak. 

2.      Cidera Difus (cidera tumpul)
Trauma oleh benda tumpul dapat menyebabkan / menimbulkan kerusakan menyeluruh (difuse) karena kekuatan benturan. Terjadi penyerapan kekuatan oleh lapisan pelindung spt : rambut, kulit, kepala, tengkorak. Pada trauma berat sisa energi diteruskan keotak dan menyebabkan kerusakan dan gangguan sepanjang perjalanan pada jaringan otak sehingga dipandang lebih berat.
Misal : terkena pukulan atau benturan.

Berat ringannya masalah yg timbul akibat trauma bergantung pd beberapa factor yaitu:
a.       Lokasi benturan
b.      Adanya penyerta seperti : fraktur, hemoragik
c.       Kekuatan benturan
d.      Efek dari akselerasi (benda bergerak membentur kepala diam) dan deselerasi (kepala bergerak membentur benda yang diam)
e.       Ada tidaknya rotasi saat benturan

Dapat pula dibagi menjadi :
1.      Trauma primer
Terjadi karena benturan langsung ataupun tak langsung (akselerasi/deselerasi otak)

2.      Trauma otak sekunder
Merupakan akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.


D.    KLASIFIKASI
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan derajat cedera kepaka. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek ,secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi  yaitu berdasarkan :
1.      Mekanisme Cedera kepala
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.

2.      Beratnya Cedera
Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala.


a.       Cedera Kepala Ringan (CKR).
GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio cerebral maupun hematoma.

b.      Cedera Kepala Sedang ( CKS)
GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.

c.       Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intracranial.
Skala Koma Glasgow
No
RESPON
NILAI
1
Membuka Mata :
-Spontan
-Terhadap rangsangan suara
-Terhadap nyeri
-Tidak ada

4
3
2
1
2
Verbal :
-Orientasi baik
-Orientasi terganggu
-Kata-kata tidak jelas
-Suara tidak jelas
-Tidak ada respon

5
4
3
2
1
3
Motorik :
- Mampu bergerak
-Melokalisasi nyeri
-Fleksi menarik
-Fleksi abnormal
-Ekstensi
-Tidak ada respon

6
5
4
3
2
1
Total
3-15
3.       Morfologi Cedera

Secara Morfologi cedera kepala dibagi atas :
a.       Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Tanda-tanda tersebut antara lain :
1)      Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)
2)      Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
3)      Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea) dan
4)       Parese nervus facialis ( N VII )
Sebagai patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke dalam, lebih tebal dari tulang kalvaria, biasanya memeerlukan tindakan pembedahan.
b.      Lesi Intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua jenis lesi sering terjadi bersamaan.

Termasuk lesi lesi local :
1)      Perdarahan Epidural
2)      Perdarahan Subdural
3)      Kontusio (perdarahan intra cerebral)
Cedera otak difus umumnya menunjukkan gambaran CT Scan yang normal, namun keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya koma dan lamanya koma, maka cedera otak difus dikelompokkan menurut kontusio ringan, kontusio klasik, dan Cedera Aksona Difus ( CAD).
1)      Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya  terjadi pada regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media ( Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral. Kemudian gejala neurology timbul secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala herniasi transcentorial.
Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervi kranialis. Cirri perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung

2)      Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural( kira-kira 30 % dari cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural.

3)      Kontusio dan perdarahan intracerebral
Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walau terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan cerebellum. Kontusio cerebri dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau jam mengalami evolusi membentuk perdarahan intracerebral.  Apabila lesi meluas dan terjadi penyimpangan neurologist lebih lanjut.

4)      Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi pada cedera kepala.
Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu, namun terjadi disfungsi neurologist yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan sering kali tidak diperhatikan, bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia retrograd, amnesia integrad ( keadaan amnesia pada peristiwa sebelum dan sesudah cedera) Komusio cedera klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversible. Dalam definisi klasik penderita ini akan sadar kembali dalam waktu kurang dari 6 jam. Banyak penderita dengan komosio cerebri klasik pulih kembali tanpa cacat neurologist, namun pada beberapa penderita dapat timbul deficit neurogis untuk beberapa waktu. Defisit neurologist itu misalnya : kesulitan mengingat, pusing ,mual, amnesia dan depresi serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat. Cedera Aksonal difus ( Diffuse Axonal Injuri,DAI) adalah dimana penderita mengalami coma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemi. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu, penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer.


E.     MANIFESTASI KLINIS

1.      Cidera kepala ringan-sedang
a.       Disorientasi ringan
b.      Amnesia post partum
c.       Hilang memori sesaat
d.      Sakit kepala
e.       Mual dan Muntah
f.       Vertigo dan perubahan posisi
g.       Gangguan pendengaran
Tanda yang potensial berkembang :
a.       Penurunan kesadaran
b.      Perubahan pupil
c.       Mual makin hebat
d.      Sakit kepala semakin hebat
e.       Gangguan pada beberapa saraf cranial
f.       Tanda-tanda meningitis
g.      Apasia
h.      Kelemahan motorik

2.      Cidera kepala sedang-berat
a.       Tidak sadar dalam waktu lama
b.      Fleksi dan ekstensi abnormal
c.       Edema otak
d.      Tanda herniasi
e.       Hemiparese
f.       Gangguan akibat saraf cranial
g.      Kejang

Tanda dan gejala berdasarkan tipe trauma kepala dibagi atas :
1.      Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak dan melukai atau menyobek dura meter menyebabkan CSS merembes. Kerusakan sarak otak dan jaringan otak.
2.      Trauma kepala tertutup
Keadaan trauma kepala tertutup dapat mengakibatkan kondisi komosio, kontusio, epidural hematoma, subdural hematoma, intrakranial hematoma.

Komosio / geger otak , dengan tanda-tanda :
a.       Cedera kepala ringan
b.      Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali
c.       Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10-20 menit
d.      Tanpa kerusakan otak permanen
e.       Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah
f.       Disorientasi sementara
g.      Tidak ada gejala sisa
h.      Tidak ada terapi khusus

Kontusio serebri / memar otak, dengan tanda-tanda:
a.       Ada memar otak
b.      Perdarahan kecil lokal / difus dengan gejala adanya gangguan lokal dan adanya perdarahan.
c.       Gejala :
a)      Gangguan kesadaran lebih lama
b)      Kelainan neurologis positif
c)      Refleks patologis positif, lumpuh, konvulsi
d)     Gejala TIK meningkat
e)      Amnesia retrograd lebih nyata.


F.     PATOFISIOLOGI
Kranium merupakan struktur kuat yang berisi darah,jaringan otak dan jaringan serebrospinal. Fungsi cerebral tergantung pada adekuatnya nutrisi seperti oksigen, glukosa. Berat ringannya cedera kepala tergantung pada trauma kranium atau otak. Cedera yang dialami dapat gegar otak, memar otak atau laserasi, fraktur dan atau hematoma (injury vaskuler, epudural ; epidural atau subdural hematoma).
Cedera kepala yang terjadi dapat berupa percepatan (aselerasi) atau perlambatan (deselerasi). Trauma dapat primer atau sekunder. Trauma primer adalah trauma yang langsung mengenai kepala saat kejadian. Sedangkan trauma sekunder merupakan kelanjutan dari trauma primer. Trauma sekunder dapat terjadi meningkatnya tekanan intrakranial, kerusakan otak, infeksi dan edema cerebral.
Epidural hematoma merupakan injury pada kepala dengan adanya fraktur pada tulang tengkorak dan terdapat lesi antara tulang tengkorak dan dura. Perdarahan ini dapat meluas hingga menekan cerebral oleh karena adanya tekanan arteri yang tinggi. Gejalanya akan tampak seperti kebingungan atau kesadaran delirium, letargi, sukar untuk dibangunkan dan akhirnya bisa koma. Nadi dan nafas menjadi lambat, pupil dilatasi dan adanya hemiparese.
Subdural hematoma adalah cedera kepala dimana adanya ruptur pembuluh vena dan perdarahan terjadi antara dura dan serebrum atau antara duramater dan lapisan arakhnoid. Terdapat dua tipe yaitu subdural hematoma akut dan kronik. Bila akut dapat dikaitkan dengan kontusio atau laserasi yang berkembang beberapa menit atau jam. Manifestasi tergantung pada besarnya kerusakan pada otak dan usia anak, dapat berupa kejang, sakit kepala, muntah, meningkatnya lingkar kepala, iritabel dan perasaan mengantuk.
Cerebral hematoma adalah merupakan perdarahan yang terjadi akibat adanya memar dan robekan pada cerebral yang akan berdampak pada perubahan vaskularisasi, anoxia dan dilatasi dan edema. Kemudian proses tersebut akan terjadilah herniasi otak yang mendesak ruang disekitarnya dan menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial. Dalam jangka waktu 24 – 72 jam akan tampak perubahan status neurologi.

















G.   
Trauma kepala
 
WOC
 





































H.    PENATALAKSANAAN
1.      Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada cedera kepala menurut Batticaca. FB. 2008 :
a.       Angkat klien dengan papan datar untuk mempertahankan kepala dan leher sejajar.
b.      Traksi ringan pada kepala
c.       Kolar servikal
d.      Terapi untuk mempertahankan homeostatik otak dan mencegah kerusakan otak sekunder seperti stabilitas sistem kardiovaskuler dan fungsi pernapasan untuk mempertahankan perfusi serebral yang adekuat. Kontrol perdarahan, perbaiki hipovolemi, dan evaluasi gas darah arteri.
e.       Tindakan terhadap peningkatan TIK dengan melakukan pemantauan TIK. Bila terjadi peningkatan TIK, pertahankan oksigenasi yang adekuat, pemberian manitol untuk mengurang edema kepala dengan dehidrasi osmotik, hiperventilasi, penggunaan steroid, meninggikan posisi kepala ditempat tidur, kolaborasi bedah neuro untuk mengangkat bekuan darah, dan jahitan terhadap laserasi di kepala. Pasang alat pemantau TIK selama pembedahan atau dengan teknik aseptik di tempat tidur. Rawat klien di ICU.
f.       Tindakan perawatan pendukung yang lain yaitu, pemantauan ventilasi dan pencegahan kejang serta pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi. Lakukan intubasi dan ventilasi mekanik bila klien koma berat untuk mengontrol jalan nafas. Hiperventilasi terkontrol mencakup hipokapnia, pencegahan vasodilatasi, penurunan volume darah serebral, dan penurunan TIK. Pemberian terapi antikonvulsan untuk mencegah kejang setelah trauma kepala yang menyebabkan kerusakan otak sekunder karena hipoksia (klorpromazin tanpa tingkat kesadaran). Pasang NGT bila terjadi motilitas lambung dan peristaltik terbalik akibat cedera kepala.

2.      Penatalaksanaan Keperawatan
Pengkajian yang dilakukan dalam penatalaksanaan keperawatan cedera kepala  menurut Batticaca. FB. 2008 :
a)       Riwayat kesehatan
1.      Kapan cedera terjadi
2.      Apa penyebab cedera
3.      Apa peluru kecepatan tinggi
4.      Apa objek yang membentur
5.      Bagaimana proses terjadinya cedera pada kepala, apa karena jatuh
6.      Darimana arah datangnya pukulan, bagaimana kekuatan pukulan
7.      Apakah klien kehilangan kesadaran Berapa lama durasi dari periode sadar
8.      Dapatkah klien dibangunkan

b)      Riwayat tidak sadar atau anamnesis setelah cedera kepala menunjukkan derajat kerusakan otak yang berarti, dimana perubahan selanjutnya dapat menunjukkan pemulihan atau terjadinya kerusakan otak sekunder.
c)      Tingkat kesadaran dan responsivitas dengan GCS
d)     Tanda vital
e)       Fungsi motorik

I.       PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada trauma kepala menurut Grace, Piere A. 2006:
a.       Rontgen tengkorak : AP, lateral dan posisi Towne
b.      CT Scan / MRI : menunjukkan kontusio, hematoma, hidrosefalus, edema serebral.
c.       Pengkajian neurologis (Batticaca. FB. 2008)
d.      GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.
e.       Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
f.       EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.
g.      Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).

J.      KOMPLIKASI
Menurut Mansjoer, (2000) komplikasi yang dapat terjadi pada cedera kepala adalah :
a.       Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2 – 6% pasien dengan cedera kepala tertutup.
b.      Fistel karotis-kavernosus ditandai oleh trias gejala : eksolelamos, kemosis,dan bruit orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
c.       Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik.
d.      Edema pulmonal, komplikasi paru-paru yang serius pada pasien cedera kepala adalah edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguan neurologis atau akibat dari sindrom distres pernapasan dewasa.
e.       Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam), dan (minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
















BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A.    PENGKAJIAN.
1.      Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan , alamat, pekerjaan, agama, tanggal dan jam masuk, no MR, diagnosis medis dll.

2.      Riwayat Kesehatan
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan tergantung dari seberpa jauh dampak trauma kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.
a.      Riwayat kesehatan sekarang.
Biasanya klien yang mengalami trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu lintas, jatuh dariketinggian, dan trauma langsung ke kepala, akan mengalami penuruna tingkat kesadaran ( GCS <15 ), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, lemah, tejadi luka di kepala, paralissis, akumulasi sekret pada saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung, dan telinga serta kejang.Adanya penuruna kesadran dihubungkan karna terjadinya perubahan di dalam intrakranial.Sesuai denga perkembangan penyakit, dapat terjadi letagi, tidak responsif dan bahkan koma.
b.      Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya klien mengalami riwayat cedera kepala sebelumnya, dan mengalami riwayat penyakit yang memicu terjadinya suatu kejadian yang mengakibatkan terjadinya cedera kepala serta yang memepengaruhi kondisi kesehatan klien saat ini, seperti : hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus serta adanya penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin, obat-obat adiktif,konsumsi alkohol yang berlebihan.  
c.       Riwayat kesehatan keluarga
Kaji apakah ada anggota keluraga yang menderita penyakit keturunan seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, serta yang menderita penyakit menular lainnya.

3.      Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik dilakukan per sistem mulai dari  ( B1-B6 )dengan fokus pemeriksaaan fisik pada pemeriksaan B3( brain )yang terarah dan dihubungkan dengan keluha-keluhan dari klien.
1.      Keadaan umum
Pada keadaan cedera kepala umumnya klien mengalami penurunan kesardaran, biasanya pada klien dengan :
a.       Cedera kepala ringan, GCS 13-15
b.      Cedera kepala sedang, GCS 9-12
c.       Cedera kepala berat, GCS kurang atau sama dengan 8.
2.      B1 ( Breathing )
Inspeksi :biasanya didapatkan klien dengan batuk, sesak npas, pengguanaan otot bantu pernapasan dan peningkatan frekuensi pernapasan, pada ekspansi dada biasanya terjadi ketidaksimetrisan yang mungkin menunjukkan adanya atelektasis, lesi pada peru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pneumothoraks, atau penempatan endotrakeal. Dan tube trakeostomi yang kuran tepat.pada ekspansi dada juga perlu di nilai retraksi dari otot-otot interkostal, substernal, pernapasan abdomen.
Palpasi : Biasanya fremitus akan menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thorak.
Perkusi : Biasanya terdapat adanya suara redup dan pekak pada keadaan yang melibatkan trauma pada thoraks / hemothoraks.
Auskultasi : Biasanya terdapat bunyi napas tambahan seperti stridor, ronkhi pada klien dengan peningkatan sekret.
3.      B2 ( Blood )
Pada pemeriksaan jantung biasnya ditemukan beberpa keadaan seperti tekanan darah meningkat dan kadang juga akan menurun, nadi bradikardi, takikardi, dan aritmia.nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer.Nadi bradikardi merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak.Kulit kelihatan pucat menandakan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah.Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda dari suatu syok.   
4.      B3 ( Brain )
a.       Pemeriksaan fungsi serebral
1.      Status mental : biasnya status mental akan mengalami perubahan
2.      Fungsi intelektual : biasanya klien cedara kepala akan mengalami penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka pendek maupun jangka panjang.
3.      Lobus frontal : kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapat bila traumakepala mengakibatkan adanya kerusakan pada lobus frontal kapasitas, memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak.disfungsi ini di tunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi yang mengakibatkan klien ini menghadapi masalah frustasi dalamprogram rehabilitasi mereka.Masalah psikologis lainnya juga bisa terjadi dan di manifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan, frustasi , dendam dan kurang kerja sama.
4.      Hemisfer : cedera kepala pada hemisfer kiri, mengalami hemiparese kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia.

b.      Pemeriksaan saraf kranial.
1.      Nervus I
Cedera kepala yang merusak anatomisdan fisiologis saraf ini, klien akan mengalami kelainan pada fungsi penciuman atau anosmia unilateral dan bilateral.
2.      Nervus II
Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan lapangan penglihatan dan dan menggagu fungsi dari nervus optikus.
3.      Nervus III, IV, dan VI
Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien dengan trauma yang merusak ronga orbital.Biasanya di jumpai keadaan seperti anisokoria diman gejala ini di anggap sebgai tanda serius jika mdrisis itu tidak bereaksi pada penyinaran.tanda awal herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak berreaksi pada penyinaran.jika pada trauma kepala terdapat anisokoria dimana bukannya midriasis yang ditemukan, melainkan miosis yag bergandengan denga pupil yang normal pada sisi yang lain, maka pupil yang miosislah yang abnormal.Miosis ini disebabkan oleh lesi lobus frontalis ipsilateral yang mengelola pusat silspinal.Hilangnya fungsi itu berarti pusat silospinal menjadi tidak aktif, sehingga pupil tidak berdilatasi melainka berkonstriksi.
4.      Nervus V
Cedera kepala menyebabkan peralisis nervus trigeminus, didapatka penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah.
5.      Nervus VII
Persepsi pengecapan mengalami perubahan.
6.      Nervus VIII
Perubahan fungsi pendengaran pada klien dengan cedera ringan biasnya tidak di dapatkan apabila trauma yang terjadi tidak melibatkan saraf vestibulokoklearis
7.      Nervus IX dan X
Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.
8.      Nervus XI
Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup baik dan tidak ada atrofi otot strenokleidomastoideus dan trapezius.
9.      Nervus XII
Indra  pengecapan mengalami perubahan.  
c.       Sistem motorik
1.      Inspeksi umu, didapatkan hemiplegia ( paralisi pada salah satu sisi ) karena sisi pada sisi otak yang berlawanan.hemiparesis ( kelemahan salah satu sisi tubuh )adalah tanda yang lain.
2.      Tonus otot, didapatkan menurun sampai hilang.
3.      Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan grade kekuatan otot didapatkan grade 0.
4.      Keseimbangan dan koordinasi, didapatkan mengalami gangguan karena hemiparese dan hemiplegia.
d.      Pemeriksaaan refleks.
1.      Pemeriksaan reflek dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat refleks pada respons normal.
2.      Pemeriksaan reflek patologis, pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan meghilangsetelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali di dahului dengan reflek patologis.
e.       Sistem sensorik
Biasnya terjadi kehilangan propriosepsi ( kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh ) serta kesulitan dalam menginterprestasikan stimuli visual, taktil dan auditorius.
5.      B4 ( Bladder )
Biasanya keadaan urine akan mengalami perubahan seperti, warna, jumlah dan karakteristiknya.Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal.   
6.      B5 ( Bowel )
Biasanya terjadi kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut, pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.      
7.      B6 ( Bone )
Biasanya terjadi kelemahan pada seluruh ekstremitas, warna kulit kuning, sianosis, anemia,.
B.     DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.      Resiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya paerdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
2.      Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara / cairan dan perubahan perbandingan O2         dan CO2 kegagalan ventilaor
3.      Tidak efektif bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan penunumpukan sputum peningkatan sekresi sekret penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan kelatihan
4.      Perubahan kenyamanan : nyeri akut berhubungan dengan trauma jarinagn dan reflek spasme otot sekunder
5.      Gangguan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan edema pada otak
6.      Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yanh berhubungan dengan perubahan kemammpuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme.
7.      Gangguan komuknikasi verbal berhubungan dengan terpasangnya endotrakeal dan paralisis atau kelemahan neuromuskuler.

C.     INTERVENSI KEPERWATAN.                     
NO
DIAGNOSA KEPERAWATAN
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL
INTERVENSI
RASIONAL
1.
Resiko tinggi TIK b/d desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dar adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil : klien tidak gelisah, tidak mengeluh keala nyeri, mual dan muntah, GCS 4,5,6, tidak terdapat papiledema, TTV normal.
1.      Kaji faktor penyebab peningkatan TIK










2.      Monito TTV tiap empat jam














3.      Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur


4.      Cegah atau hindari terjadinya falsafah manufer
1.      Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji sttus neurologis atau tanda kegagalan untuk menentukan tindakan pembedahan

2.      Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara debgan baik atau fluktasi di tandai dengan tekanan darah siskemik, penurunan dari autoreguer kebanyakan merupakan tanda penurunan difusi lokal vaskularisasi  daraj serebral.
3.      Tindakan yang terus menerus dapat meningkatkan TIK oleh efek rangsangan komulatif.
4.      Mengurangi tekanan intratorakal dan intraabdominal sehingga menghindari peningkatan TIK.
2.
Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara / cairan dan perubahan perbandingan O2 dan CO2 kegagalan ventilaor

Tujuan : dalam waktu 3x24jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola nafas kembali efektif.
Kriteria hasil :
Memperlihatkan frekuensi pernafasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas2 pada paru, daptif mengatasi faktor penyebab.
1.      Berikan posisi nyaman,biasanya dengan posisi semi fowler.


2.      Observasi fungsi pernafasan, catat frekuensi,dispnea,perubahan TTV








3.      bantulah klien untuk mengontrol pernafasan jika ventilator tiba2 berhenti.







4. kolaborasi dengan tim kesehatan lain pemberian antibiotik,analgesik,fisoterapi dada dan konsul foto toraks
1.Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
2. distres pernafasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stres fisiologi dan nyri atau dapat menunjukn dapat terjadinya syok sehubungna dengan hipoksia.
3. melatih klien untuk mengatur nafas seperti nafas dalam,pengaturan posisi dan teknik relaksasi dapat membantu memaksimalkan fungsi dari sistem pernafsan.

4.      Untuk mengevaluasi perbaikan atas pengembangan parunya.
3.
Tidak efektif bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan penunumpukan sputum peningkatan sekresi sekret penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan kelatihan

Tujuan :
Dalam waktu 3x24jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan nafas.
Kriteria hasil :
Bunyi nafas terdengar bersih, tidak ada suara nafas tambahan
1.      Kaji keadaan jalan nafas








2.      Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara nafas pada kedua paru.
3.      Catat adanya batuk, bertambahnya sesak napas dan pengeluaran sekret melalui endotrakeal dan bertambahnya bunyi ronki.
4.      Anjurkan klien dengan teknik batuk selama penghisapan seperti waktu bernapas panjang, batuk kuat, bersin jika ada indikasi.
5.      Kolaborasi dengan tim kesehatan lain pemberian ekspektoran, entibiotik, fisioterapi dada dan konsul foto thorak.
1.      Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret,sisa cairan mukus,perdarahan,dan bronkospsame

2.      Pergerakan dada yang simetris dengan suara nafas yang keluar dari paru-paru menandakan jalan nafas tidak terganggu.

3.      Selama intubasi klien mengalami reflek batuk yang tidak dapat efektif. Semua klien tergantung dari alternatif yang dilakukan seperti menghisap lendir dari jalan nafas.

4.      Batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret dari saluran napas.

5.      Ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan paru nya.




















DAFTAR PUSTAKA

Arif mutataqin.2008.asuhan keperwatan klien dengan gangguan sistem persarafan.jakarta : EGC.

Gyton  dan hall.buku ajar fisiologi kedokteran.edisi 15.jakarta :EGC

Doenges, Marilynn E., 1999, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, EGC : Jakarta

Brunner & Suddarth.2000.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta:EGC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar