MAKALAH KMB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS PADA KLIEN DENGAN CEDERA
KEPALA
DISUSUN
O
L
E
H
HARLEN SEPTIANI TASIL
DOSEN PEMBIMBING:
Ns. Rizka Austrianti, S.Kep
PRODI: DIII KEPERAWATAN
STIKES
MERCUBAKTIJAYA PADANG
2012/2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayahNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas keperawatan KMB III dengan judul “Asuhan Keperawatan Teoritis pada Klien dengan Cedera Kepala“ yang merupakan salah satu persyaratan akademik dalam pelaksanaan pendidikan.
Dalam penyusunan tugas ini kami
berusaha semaksimal mungkin namun kemampuan kami sangat terbatas, sehingga penyusunan
tugas ini jauh dari sempurna, dan kami menyadari akan segala kekurangan dalam
penyusunan tugas ini. Kami mengharap kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan tugas makalah ini dan kesempatan penulis selanjutnya.
Kami mengucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas ini.Semoga bermanfaat bagi penyusun khususnya dan pembaca pada umumnya.
Kami mengucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas ini.Semoga bermanfaat bagi penyusun khususnya dan pembaca pada umumnya.
Padang, 12 April 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Banyak
istilah yang dipakai dalam menyatakan suatu trauma atau cedera pada kepala di Indonesia.
Beberapa rumah sakit ada yang memakai istilah cidera kepala dan cedera otak
sebgai suatu diagnosis medis untuk suatu trauma pada kepala, walaupun secara
harafiah kedua istiah tersebut sama karena memakai gradasi respons Glasgow Coma
Scale (GCS) sebagai tingkat gangguan yang terjadi akibat suatu cedera di
kepala.
Dalam
melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan akibat trauma yang
mencederai kepala, maka perawat perlu mengenal Neuroanatomi, Neurofisiologi
serta Neuropatofisiologi dengan baik agar kelainan dari masalah yang dikeluhkan
atau kelainan dari pengkajian fisik yang didapat bisa sekomprehensif mungkin
ditanggapi perawat yang melakukan asuhan pada klien dengan cedera kepala.
Cedera
kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Secara anatomis otak
dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala, serta tulang dan tentorium (
helm ) yang membungkusnya.
Tanpa
perlindungan ini otak akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan.
Selain itu sekali neuron rusak, tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala
dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan
akibat langsung dari cedera dan banyak lainnya timbul sekunder dari cedera.
Efek-efek
ini harus dihindari dan ditemukan secepatnya oleh perawat untuk menghindari
rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental dan fisik, bahkan kematian.
Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologis yang serius diantara
penyakit neurologis, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan
jalan raya. Diperkirakan 2/3 korban dari kasus ini berusia dibawah 30 tahun,
dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengan dari
semua klien cedera kepala berat mempunyai signifikansi terhadap cedera bagian
tubuh lainnya. Adanya syok hipovolemik pada klien cedera kepala biasanya karena
cedera bagian tubuh lainnya. Resiko utama klien yang mengalami cedera kepala
adalah kerusakan otak akibat pendarahan atau pembengkakan otak sebagai respon
terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
Pada
beberapa literatur terakhir dapat disimpulkan bahwa cedera kepala atau cedera
otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tidak disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
Berdasarkan
GCS, cedera kepala atau cedera otak dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu:
1. Cedera
kepala ringan / cedera otak ringan , bila GCS : 13-15.
2. Cedera
kepala sedang / cedera otak sedang, bila GCS : 9-12.
3. Cedera
kepala berat / cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8.
Pada
klien yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misalnya oleh karena afasia, maka
reksi verbal diberi tanda “X” , atau oleh karena kedua mata edema berat
sehingga tidak dapat dinilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata
diberi nilai “X” , sedangkan jika klien dilakukan trakeostomi atau dilakukan
intubasi maka reaksi verbal diberi nilai “T”.
Penyebab
dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma oleh benda
/ serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan atau energi
yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan (
akselerasi-deselerasi ) pada otak.
B.
TUJUAN
1. Tujuan
Umum
Mampu melaksanakan asuhan keperawatan secara
komprehensif pada klien dengan Cedera Kepala Ringan.
2.
Tujuan Khusus
a.
Dapat melakukan
pengkajian keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala Ringan dari aspek bio,
psikososial dan spiritual.
b.
Dapat merumuskan diagnosis
keperawatan dan menentukan prioritas masalah pada klien dengan Cedera Kepala
Ringan.
c.
Merencanakan tindakan keperawatan
berdasarkan diagnosis keperawatan serta dapat melaksanakan rencana tindakan pada klien
dengan Cedera Kepala Ringan
d.
Dapat mengevaluasi hasil akhir
terhadap tindakan keperawatan yang telah diberikan pada klien dengan Cedera Kepala
Ringan.
BAB II
KONSEP DASAR
A.
DEFINISI
Cidera
kepala adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai / tanpa perdarahan
intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas dari
otak ( P.Syamsuhidayat, dkk, 1996, 1110 ).
Cidera
kepala adalah trauma pada otak yang disebabkan adanya kekuatan fisik dari luar
yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran. Akibatnya dapat
menyebabkan gangguan kognitif, gangguan tingkah laku, atau fungsi emosional.
Gangguan ini dapat bersifat sementara atau permanen, menimbulkan kecacatan baik
partial atau total dan juga gangguan psikososial. (Donna, 1999)
Cidera
kepala adalahsuatu keadaan traumatic yang mengenai otak dan menyebabkan
perubahan-perubahan fisik, intelektual, emosional, social, dan vokasional.
(Joyce, M Black, 1997)
Cedera
kepala adalah suatu bentuk trauma yang dapat merubah kemampuan otak dalam
menghasilkan keseimbangan aktifitas fisik, intelektual, emosional, sosial dan
pekerjaan atau gangguan traumatic yang menimbulkan perubahan fungsi otak (Black
M. 1997).
Cedera
kepala pada intinya menyatakan suatu cedera akut pada ssuunan saraf pusat,
selaput otak, saraf kranial termasuk fraktur tulang kepala, kerusakan jaringan
lunak pada kepala dan wajah, baik terjadi secara langsung (kerusakn primer)
maupun tidak lansung (kerusakan sekunder), yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis berupa gangguan fisik, kognitif dan fungsi psikososial baik bersifat
sementara atau menetap.
B.
ANATOMI
FISIOLOGI
a.
Anatomi kepala
Tengkorak terbagi atas
1.
Tengkorak Otak
Tengkorak otak menyelubingi otak dan alat pendengar. Tengkorak otak terdiri
dari :
a)
Kubah tengkorak
Kubah tengkorak yang berbentuk cembung menyelubungi rongga tengkorak dari
atas dan dari sisi. Kubah tengkorak terdiri atas beberapa tulang ceper yang
dihubungkan oleh sutura tengkorak. Dari depan ke belakang terdapat
berturut-turut sebuah tulang dahi, sepasang tulang ubun-ubun dan sebuah tulang
belakang kepala. Pada dinding sisi kubah tengkorak terdapat sepasang tulang
pelipis. Tulang dahi, tulang belakang kepala turut pula membentuk dasar
tengkorak ( lihat gambar 1 ).
b)
Dasar Tengkorak
Bagian dasar tengkorak dapat dibedakan 3 bagian, yaitu lekuk tengkorak
depan, lekuk tengkorak tengah dan lekuk tengkorak belakang. Bagian tengah dasar
lekuk tengkorak depan dibentuk oleh tulang lapisan yang mempunyai banyak lubang
halus untuk memberi jalan kepada serabut-serabut saraf penghidu, oleh karena
itu bagian tulang lapisan tersebut dinamakan lempeng ayakan yang merupakan atap
bagi rongga hidung.
Lekuk tengkorak
tengah terdiri dari atas bagian tengah dan dua bagian sisi, bagian tengah
adalah pelana turki. Dasar lekuk tengkorak belakang letaknya lebih rendah
daripada dasar lekuk tengkorak depan. Lekuk tengkorak belakang letaknya lebih
rendah lagi daripada lekuk tengkorak tengah (lihat gambar 1).
2.
Tengkorak Wajah
Tengkorak wajah
letaknya di depan dan di bawah tengkorak otak. Lubang-lubang lekuk mata
dibatasi oleh lubang dahi, tulang pipi dan tulang rahang atas. Dinding belakang
lekuk mata juga dibentuk oleh tulang baji (sayap besar dan kecil). Dinding
dalamnya dibentuk oleh tulang langitan, tulang lapisan dan tulang air mata.
Selain oleh toreh lekuk mata atas dan oleh lubang untuk saraf penglihat maka
dinding lekuk mata itu tembus oleh toreh lekuk mata bawah yang terletak antara
tulang baji, tulang pipi dan tulang rawan atas. Toreh itu mangarah ke lekuk
wajah pelipis. Tulang air mata mempunyai sebuah lekuk yang jeluk, yaitu lekuk
kelenjar air mata yang disambung ke arah bawah oleh tetesan air mata yang bermuara
di dalam rongga hidung (lihat gambar 1).
b. Kulit kepala
Kulit kepala
terdiri dari 5 lapisan sebagai scalp, yaitu :
a.
kulit
b.
jaringan
penyambung (connective tissue)
c.
galae aponeurotika yaitu jaringan
ikat yang berhubungan langsung dengan tengkorak.
d.
Perikranium.
Kulit kepala banyak memiliki pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan
akibat laserasi kulit kepala akan mengakibatkan banyak kehilangan darah,
(American College of Surgeons 1997)
c. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kalvakrium dan basis kranii. Rongga tengkorak
dasar adalah tempat lobus frontalis, fosa medis adalah tempat lobus temporalis
dan fosa posterior adalah ruang bagi batang otak bawah dan serebelum, (American
College of Surgeons 1997)
d.
Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak yang terdiri dari 3
lapisan, yaitu dura meter, arakhnoid dan pia meter. Dura meter adalah selaput
keras terdiri atas jaringan ikat fibrosa
yang melekat erat dan tabula interna atau bagian dalam kranium. Di bawah dura
meter terdapat lapisan kedua yang tipis dan tembus pandang di sebut selaput
arakhnoid. Lapisan ketiga adalah pia mater yang melekat pada permukaan kortek
serebri, (American College of Surgeons 1997
e.
Sistem Saraf Pusat (SSP)
Yang disebut sistem saraf pusat di sini adalah otak dan medula spinalis
yang tertutup di dalam tulang dan terbungkus dalam selapu-selaput (meningen)
pelindung, serta rongga yang berisi cairan (lihat gambar 2).
1. Otak dan pembagiannya
Otak secara garis besar dapat dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu : serebrum,
batang otak, dan serebelum.
a. Serebrum
Setiap hemisfer dibagi atas empat lobus yaitu : lobus frontalis, parietal, oksipital, temporalis. Fungsi dari
setiap lobus berbeda-beda. Berikut penjelasan dari masing-masing fungsi lobus :
1)
Lobus Frontalis, bagian depan bekerja untuk proses belajar,
merancang, psikologi, lobus frontalis bagian belakang untuk proses motorik
termasuk bahasa (lihat gambar 3)
2) Lobus parietal, bekerja khusus untuk sensorik
somatik (misal sensibilitas kulit) dan peran asosiasinya, beberapa areanya
penting bagi proses kognitif dan intelektual (lihat gambar 3).
3) Lobus Oksipital, merupakan area pengoperasian penglihatan (lihat gambar 3).
4) Lobus temporalis, merupakan pusat pendengaran dan asosiasinya, beberapa pusat bicara, pusat
memori. Bagian anterior dan basal lobus temporalis penting untuk indra penghidu
(lihat gambar 3).
b. Batang Otak
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblongata.
Masing-masing struktur mempunyai tanggung jawab yang unik dan fungsi ketiganya
sebagai unit untuk menjalankan saluran impuls yang disampaikan ke serebri dan
lajur spinal (lihat gambar 2)
1) Otak Tengah, merupakan bagian pendek dari batang otak yang letaknya di atas
pons. Bagian ini terdiri dari bagian posterior yaitu tektum yang terdiri dari
bagian bagian kolikuli superior dan kolikuli inferior dan bagian anterior yaitu
pedunkulus serebri. kolikuli superior
berperan dalam refleks penglihatan dan koordinasi gerakan penglihatan,
sedangkan kolikuli inferior berperan dalam reflek pendengaran, misalnya
menggerakkan kepala ke arah datangnya suara. Pedunkulus serebri terdiri dari
berkas serabut-serabut motorik yang berjalan turundari serebelum.
2) Pons, terletak diantara otak tengah dan medula oblongata. Pons berupa
jembatan serabut-serabut yang menghubungkan kedua hemisfer serebelum, serta
menghubungkan mesensefalon di sebelah atas dengan medula oblongata bawah. Pons
merupakan mata rantai penghubung yang penting pada jaras kortikoserebelaris
yang menyatukan hemisfer serebri dan serebelum.bagian bawah pons berperan dalam
pengaturan saraf kranial trigeminus, abdusen dan fasialis (lihat gambar 2)
3) Medula Oblongata, terletak diantara pons dan medula spinalis. Pada medula
ini merupakan pusat refleks yang penting untuk jantung. Vasokonstriktor,
pernapasan,bersin,batuk,menelan, pengeluaran air liur dan muntah.
c. Serebelum
Serebelum
terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh durameter yang
menyerupai atap tenda, yaitu tentorium yang menisahkan dari bagian posterior
serebrum. Serebelum terdiri dari bagian tengah, vermis dan dura hemisfer
lateral. Serebelum dihubungkan dengan batang otak oleh tiga berkas serabut yang
dinamakan pedunkulus. Pendukulus serebeli superior berhubungan dengan
mesensefalon ; pendukulus serebeli media menghubungkan kedua hemisfer otak ;
sedangkan pendukulus serebeli inferior berisi serabut-serabut traktus spinosere
belaris dorsalis dan berhubungan dengan medula oblongata. Semua aktivitas
serebelum berada di bawah kesadaran. Fungsi utama serebelum adalah sebagai
pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperluas gerakan otot, serta mengubah
tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh.
2. Medula Spinalis
Medula spinalis
terletak di dalam kanalis neural dari kolumna vertebra, berjalan ke bawah dan
memenuhi kanalis neural sampai setinggi vertebra lumbalis kedua. Sepasang saraf
spinalis berada diantara pembatas vertebra sepanjang kolumna vertebra. Di bawah
ujung tempat medula spinalis berakhir. Di dalam ujung tempat medula spinalis
terletak interneuron, serabut sensori, asenden, serabut motorik desenden dan
badan sel saraf dan dendrit somatik sekunder (volunter) dan motor neurons otonom utama. Area sentral medula
spinalis merupakan massa abu-abu yang mengandung badan sel saraf dan neuron
internunsial (lihat gambar 2)
f. Sistem Saraf Tepi (SST)
Menurut Price & Wilson, (1995) susunan saraf tepi terdiri dari saraf
kranial bervariasi, yaitu sensori motorik dan gabungan dari kedua saraf. Saraf
motorik dipersarafi oleh beberapa percabangan saraf kranial, 12 pasang saraf
kranial adalah :
1)
Nervus I (Olfaktorius) :
Sifatnya sensorik mensarafi hidung membawa rangsangan aroma (bau-bauan)
dari aroma rongga hidung ke otak.
2)
Nervus II (Optikus) :
Sifatnya sensorik, mensarafi bola mata membawa rangsangan penglihatan ke
otak
3)
Nervus III (Okulomotorius) :
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital (otot penggerak bola
mata) / sebagai pembuka bola
mata.
4)
Nervus IV (Trochlear) :
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital, sebagai pemutar bola mata
5)
Nervus V (Trigeminus) : Sifatnya majemuk (sensorik- motorik) bertanggung jawab untuk pengunyah.
6)
Nervus VI (Abdusen) : Sifatnya motorik, sebagai pemutar bola mata ke arah luar
7)
Nervus VII (Fasial) :
Sifatnya majemuk (sensorik- motorik), sebagai mimik wajah dan menghantarkan
rasa pengecap, asam, asin dan manis.
8)
Nervus VIII (Vestibulokokhlearis): Sifatnya sensorik, saraf kranial ini mempunyai dua bagian sensoris yaitu
auditori dan vestibular yang berperan sebagai penterjemah.
9)
Nervus IX (Glosofharyngeal) : Berperan dalam
menelan dan respons sensori terhadap rasa pahit di lidah.
10) Nervus X
(Vagus) :
Sifatnya majemuk (sensorik- motorik) mensarafi faring, laring dan platum
11) Nervus XI
(Asesoris) :
Sifatnya motorik, saraf ini bekerja sama dengan vagus untuk memberi
informasi ke otot laring dan faring.
12) Nervus XII
(Hipoglosal) :
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot lidah.
g.
Sistem Saraf Otonom (SSO)
Sistem Saraf Otonom merupakan sistem saraf campuram. Serabut-serabut
aferennya membawa masukan dari organ-organ viseral (menangani pengaturan denyut
jantung, diameter pembuluh darah, pernafasan, percernaan makanan, rasa lapar,
mual, pembuangan dan sebagainya). Saraf aferen motorik SSO mempersarafi otot
polos, otot jantung dan kelenjar-kelenjar viseral-SSO terutama menangani
pengaturan fungsi viseral dan interaksinya dengan lingkungan dalam.
Sistem Saraf
Otonom dibagi menjadi dua bagian :
Bagian Pertama adalah Sistem Saraf Otonom parasimpatis (SSOp) dan Sistem Saraf
Otonom simpatis (SSOs), bagian simpatis meninggalkan sistem saraf pusat dari
daerah thorakal dan lumbal (torakolumbal) medula spinalis. Bagian parasimpatis
ke luar otak (melalui komponen-komponen saraf karanial) dan bagian sakral
medula spinalis (kraniosakral).
Fungsi simpatis
adalah peningkatan kecepatan denyut jantung dan pernapasan, serta menurunkan
aktivitas saluran cerna.tujuan utama fungsinya adalah mempersiapkan tubuh agar
siap menghadapi stress atau apa yang dinamakan respon bertempur/ lari.
Fungsi
parasimpatis adalah menurunkan kecepatan denyut jantung dan pernapasan dan
meningkatkan pergerakan saluran cerna sesuai dengan kebutuhan pencernaan dan
pembuangan. Jadi saraf parasimpatis membantu konservasi dan hemostatis
fungsi-fungsi tubuh.
Cairan
Serebrospinal
Fungsi cairan serebrospinal adalah sebagai penahan getaran, menjaga
jaringan SSP yang sangat halus dari benturan terhadap struktur tulang yang
mengelilinginya dan dari cedera mekanik. Juga berfungsi dalam pertukaran
nutrien antara plasma dan kompartemen selular. Cairan serebrospinal merupakan
filtrat plasma yang dikeluarkan oleh kapiler di atap dari keempat ventrikel
otak. Seperti yang telah disebutkan, ini serupa dengan plasma minus plasma
protein yang besar, yang ada di balik aliran darah. Sebagaian besar cairan ini
dibentuk dalam ventrikel bagian lateral, yang terletak pada masing-masing
hemisfer serebri. Cairan mengalir dari ventrikel lateral ini melalui duktus ke
dalam ventrikel ketiga diensefalon. Dari ventrikel ketiga cairan mengalir
melalui aquaduktus Sylvius midbrain
dan masuk ke ventrikel keempat medula. Kemudian sebagian dari cairan ini masuk
melalui lubang (foramen) di bagian atas dari ventrikel ini dan masuk ke dalam
spasium subarakhnoid (sejumlah kecil berdifusi ke dalam kanalais spinalis).
Dalam spasium subarakhnoid, CSS diserap kembali ke dalam aliran darah pada
tempat tertentu yang disebut pleksus
subarakhnoid
Pembentukan dan reabsorbsi CSS diatur oleh tekanan osmotik koloid dan
hidrostatik yang sama yang mengatur perpindahan cairan dan partikel-partikel
kecil antara plasma dan kompartemen cairan interstisial tubuh. Secara singkat
direview, kerja dari tekanan ini adalah sebagai berikut : dua tim yang
berlawanan dari tekanan mendorong dan menarik mempengaruhi gerakan air dan
partikel-partikel kecil melalui membran kapiler semipermiabel. Satu tim terdiri
atas tekanan osmotik plasma dan tekanan hidostatik CSS. Ini memudahkan gerakan
air dari kompartemen CSS ke dalam plasma. Gerakan air dari arah yang berlawanan
dipengaruhi oleh tim dari tekanan hidrostatik plasma dan tekanan osmotik CSS.
Tim yang berpengaruh bekerja secara simultan dan kontinu. Dalam ventrikel,
aliran CSS menurunkan tekanan hidrostatik CSS. Hal ini memungkinkan tim bersama
mempengaruhi gerakan air dan partikel kecil dari plasma ke ventrikel.
Tekanan
hidrostatik darah yang rendah dalam sinus venosus bersebelahan dengan vili
arakhnoid menunjukkan skala untuk gerakan air dan terlarut dari kompartemen CSS
kembali ke dalam aliran darah. Kematian sel-sel yang melapisi kompartemen CSS akan mengeluarkan protein
ke dalam CSS. Ini akan meningkatkan
tekanan osmotik CSS dan memperlambat reabsorbsi (sementara juga mempercepat
pembentukan bila kerusakan terjadi di dalam dinding ventrikel). Peningkatan
protein CSS karena hal ini atau penyebab lain dapat merangsang atau mencetuskan
kondisi kelebihan CSS yang disebut hidrosefalus.
Tekanan
Intrakranial
Menurut American College of Surgeon,
(1997) berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan
kenaikan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang
akhirnya berdampak buruk terhadap kesudahan penderita. Dan tekanan intrakranial
yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi yang mengganggu fungsi otak dan
tentunya mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Jadi kenaikan intrakranial tidak
hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak tetapi justru sering
merupakan masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg
(136 mm H2O), TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal
dan TIK lebih dari 40 mmHg termasuk dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi
TIK setelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya.
C.
ETIOLOGI
1.
Cidera
setempat (benda tajam)
Trauma benda
tajam yang masuk kedalam tubuh merupakan trauma yang dapat menyebabkan cedera
setempat atau kerusakan terjadi terbatas dimana benda tersebut merobek otak.
misal: pisau, peluru atau berasal dari serpihan atau pecahan dari fraktur
tengkorak.
2. Cidera Difus (cidera tumpul)
Trauma oleh benda tumpul dapat menyebabkan / menimbulkan kerusakan
menyeluruh (difuse) karena kekuatan benturan. Terjadi penyerapan kekuatan oleh
lapisan pelindung spt : rambut, kulit, kepala, tengkorak. Pada trauma berat
sisa energi diteruskan keotak dan menyebabkan kerusakan dan gangguan sepanjang
perjalanan pada jaringan otak sehingga dipandang lebih berat.
Misal : terkena pukulan atau benturan.
Berat ringannya masalah yg timbul akibat trauma bergantung pd beberapa
factor yaitu:
a.
Lokasi benturan
b.
Adanya penyerta seperti : fraktur, hemoragik
c.
Kekuatan benturan
d.
Efek dari akselerasi (benda bergerak membentur kepala
diam) dan deselerasi (kepala bergerak membentur benda yang diam)
e.
Ada tidaknya rotasi saat benturan
Dapat pula dibagi menjadi :
1.
Trauma primer
Terjadi karena benturan langsung ataupun tak langsung
(akselerasi/deselerasi otak)
2.
Trauma otak sekunder
Merupakan akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.
D.
KLASIFIKASI
Berat
ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul
setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan
derajat cedera kepaka. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi
aspek ,secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan :
1. Mekanisme
Cedera kepala
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas
cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh atau pukulan benda tumpul.
Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi
selaput durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau
cedera tumpul.
2. Beratnya
Cedera
Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai
secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera kepala.
a.
Cedera Kepala Ringan (CKR).
GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran (
pingsan ) kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada
fraktur tengkorak, tidak ada kontusio cerebral maupun hematoma.
b.
Cedera Kepala Sedang ( CKS)
GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd
lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur
tengkorak.
c.
Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan
kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio
cerebral, laserasi atau hematoma intracranial.
Skala Koma
Glasgow
No
|
RESPON
|
NILAI
|
1
|
Membuka Mata :
-Spontan
-Terhadap rangsangan suara
-Terhadap nyeri
-Tidak ada
|
4
3
2
1
|
2
|
Verbal :
-Orientasi baik
-Orientasi terganggu
-Kata-kata tidak jelas
-Suara tidak jelas
-Tidak ada respon
|
5
4
3
2
1
|
3
|
Motorik :
- Mampu bergerak
-Melokalisasi nyeri
-Fleksi menarik
-Fleksi abnormal
-Ekstensi
-Tidak ada respon
|
6
5
4
3
2
1
|
Total
|
3-15
|
3. Morfologi
Cedera
Secara
Morfologi cedera kepala dibagi atas :
a.
Fraktur kranium
Fraktur
kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk garis
atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak
biasanya merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Tanda-tanda
tersebut antara lain :
1)
Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)
2)
Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
3)
Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea) dan
4)
Parese nervus
facialis ( N VII )
Sebagai
patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke dalam, lebih tebal
dari tulang kalvaria, biasanya memeerlukan tindakan pembedahan.
b.
Lesi Intrakranial
Lesi ini
diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua jenis lesi
sering terjadi bersamaan.
Termasuk
lesi lesi local :
1)
Perdarahan Epidural
2)
Perdarahan Subdural
3)
Kontusio (perdarahan intra cerebral)
Cedera otak
difus umumnya menunjukkan gambaran CT Scan yang normal, namun keadaan klinis
neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan
pada dalamnya koma dan lamanya koma, maka cedera otak difus dikelompokkan
menurut kontusio ringan, kontusio klasik, dan Cedera Aksona Difus ( CAD).
1)
Perdarahan Epidural
Hematoma
epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada regon
temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media (
Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan
dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh
gangguan kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral. Kemudian
gejala neurology timbul secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese,
papil edema dan gejala herniasi transcentorial.
Perdarahan
epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika
terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah
ataksia serebral dan paresis nervi kranialis. Cirri perdarahan epidural
berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung
2)
Perdarahan subdural
Perdarahan
subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural( kira-kira 30 % dari
cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena
jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat vena tadi
bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada
permukaan otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan
hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh
lebih buruk daripada perdarahan epidural.
3)
Kontusio dan perdarahan intracerebral
Kontusio
cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walau terjadi
juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan cerebellum. Kontusio
cerebri dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau jam mengalami evolusi
membentuk perdarahan intracerebral. Apabila lesi meluas dan terjadi
penyimpangan neurologist lebih lanjut.
4)
Cedera Difus
Cedera otak
difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi dan deselerasi, dan
ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi pada cedera kepala.
Komosio
Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu, namun
terjadi disfungsi neurologist yang bersifat sementara dalam berbagai derajat.
Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan sering kali tidak diperhatikan,
bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung dan
disorientasi tanpa amnesia retrograd, amnesia integrad ( keadaan amnesia pada
peristiwa sebelum dan sesudah cedera) Komusio cedera klasik adalah cedera yang
mengakibatkan menurunya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai
dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya
cedera. Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan
reversible. Dalam definisi klasik penderita ini akan sadar kembali dalam waktu
kurang dari 6 jam. Banyak penderita dengan komosio cerebri klasik pulih kembali
tanpa cacat neurologist, namun pada beberapa penderita dapat timbul deficit
neurogis untuk beberapa waktu. Defisit neurologist itu misalnya : kesulitan
mengingat, pusing ,mual, amnesia dan depresi serta gejala lainnya.
Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup
berat. Cedera Aksonal difus ( Diffuse Axonal Injuri,DAI) adalah dimana
penderita mengalami coma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak
diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemi. Biasanya penderita dalam
keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu, penderita sering
menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebasi dan bila pulih sering tetap
dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita sering
menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan
hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer.
E.
MANIFESTASI
KLINIS
1.
Cidera kepala ringan-sedang
a. Disorientasi
ringan
b. Amnesia post
partum
c. Hilang
memori sesaat
d. Sakit kepala
e. Mual dan
Muntah
f. Vertigo dan
perubahan posisi
g. Gangguan pendengaran
Tanda yang potensial berkembang :
a.
Penurunan kesadaran
b.
Perubahan pupil
c.
Mual makin hebat
d.
Sakit kepala semakin hebat
e.
Gangguan pada beberapa saraf cranial
f.
Tanda-tanda meningitis
g.
Apasia
h.
Kelemahan motorik
2.
Cidera kepala sedang-berat
a.
Tidak sadar dalam waktu lama
b.
Fleksi dan ekstensi abnormal
c.
Edema otak
d.
Tanda herniasi
e.
Hemiparese
f.
Gangguan akibat saraf cranial
g.
Kejang
Tanda dan gejala berdasarkan tipe
trauma kepala dibagi atas :
1.
Trauma kepala terbuka
Kerusakan
otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak dan
melukai atau menyobek dura meter menyebabkan CSS merembes. Kerusakan sarak otak
dan jaringan otak.
2.
Trauma kepala tertutup
Keadaan
trauma kepala tertutup dapat mengakibatkan kondisi komosio, kontusio, epidural
hematoma, subdural hematoma, intrakranial hematoma.
Komosio /
geger otak , dengan tanda-tanda :
a.
Cedera kepala ringan
b.
Disfungsi neurologis sementara dan
dapat pulih kembali
c.
Hilang kesadaran sementara, kurang
dari 10-20 menit
d.
Tanpa kerusakan otak permanen
e.
Muncul gejala nyeri kepala, pusing,
muntah
f.
Disorientasi sementara
g.
Tidak ada gejala sisa
h.
Tidak ada terapi khusus
Kontusio serebri / memar otak,
dengan tanda-tanda:
a.
Ada memar otak
b.
Perdarahan kecil lokal / difus
dengan gejala adanya gangguan lokal dan adanya perdarahan.
c.
Gejala :
a)
Gangguan kesadaran lebih lama
b)
Kelainan neurologis positif
c)
Refleks patologis positif, lumpuh,
konvulsi
d)
Gejala TIK meningkat
e)
Amnesia retrograd lebih nyata.
F. PATOFISIOLOGI
Kranium merupakan struktur kuat yang berisi
darah,jaringan otak dan jaringan serebrospinal. Fungsi cerebral tergantung pada
adekuatnya nutrisi seperti oksigen, glukosa. Berat ringannya cedera kepala
tergantung pada trauma kranium atau otak. Cedera yang dialami dapat gegar otak,
memar otak atau laserasi, fraktur dan atau hematoma (injury vaskuler, epudural ; epidural atau subdural hematoma).
Cedera kepala yang terjadi dapat berupa percepatan (aselerasi) atau perlambatan (deselerasi). Trauma dapat primer atau
sekunder. Trauma primer adalah trauma yang langsung mengenai kepala saat
kejadian. Sedangkan trauma sekunder merupakan kelanjutan dari trauma primer.
Trauma sekunder dapat terjadi meningkatnya tekanan intrakranial, kerusakan
otak, infeksi dan edema cerebral.
Epidural hematoma merupakan injury pada kepala dengan
adanya fraktur pada tulang tengkorak dan terdapat lesi antara tulang tengkorak
dan dura. Perdarahan ini dapat meluas hingga menekan cerebral oleh karena
adanya tekanan arteri yang tinggi. Gejalanya akan tampak seperti kebingungan
atau kesadaran delirium, letargi, sukar untuk dibangunkan dan akhirnya bisa
koma. Nadi dan nafas menjadi lambat, pupil dilatasi dan adanya hemiparese.
Subdural hematoma adalah cedera kepala dimana adanya
ruptur pembuluh vena dan perdarahan terjadi antara dura dan serebrum atau
antara duramater dan lapisan arakhnoid. Terdapat dua tipe yaitu subdural
hematoma akut dan kronik. Bila akut dapat dikaitkan dengan kontusio atau
laserasi yang berkembang beberapa menit atau jam. Manifestasi tergantung pada
besarnya kerusakan pada otak dan usia anak, dapat berupa kejang, sakit kepala,
muntah, meningkatnya lingkar kepala, iritabel dan perasaan mengantuk.
Cerebral hematoma adalah merupakan perdarahan yang
terjadi akibat adanya memar dan robekan pada cerebral yang akan berdampak pada
perubahan vaskularisasi, anoxia dan
dilatasi dan edema. Kemudian proses tersebut akan terjadilah herniasi otak yang
mendesak ruang disekitarnya dan menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial.
Dalam jangka waktu 24 – 72 jam akan tampak perubahan status neurologi.
G.
|
H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan
medis yang dapat dilakukan pada cedera kepala menurut Batticaca. FB. 2008 :
a.
Angkat klien
dengan papan datar untuk mempertahankan kepala dan leher sejajar.
b.
Traksi ringan
pada kepala
c.
Kolar servikal
d.
Terapi untuk
mempertahankan homeostatik otak dan mencegah kerusakan otak sekunder seperti
stabilitas sistem kardiovaskuler dan fungsi pernapasan untuk mempertahankan
perfusi serebral yang adekuat. Kontrol perdarahan, perbaiki hipovolemi, dan
evaluasi gas darah arteri.
e.
Tindakan
terhadap peningkatan TIK dengan melakukan pemantauan TIK. Bila terjadi
peningkatan TIK, pertahankan oksigenasi yang adekuat, pemberian manitol untuk
mengurang edema kepala dengan dehidrasi osmotik, hiperventilasi, penggunaan
steroid, meninggikan posisi kepala ditempat tidur, kolaborasi bedah neuro untuk
mengangkat bekuan darah, dan jahitan terhadap laserasi di kepala. Pasang alat
pemantau TIK selama pembedahan atau dengan teknik aseptik di tempat tidur.
Rawat klien di ICU.
f.
Tindakan
perawatan pendukung yang lain yaitu, pemantauan ventilasi dan pencegahan kejang
serta pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi. Lakukan intubasi
dan ventilasi mekanik bila klien koma berat untuk mengontrol jalan nafas.
Hiperventilasi terkontrol mencakup hipokapnia, pencegahan vasodilatasi,
penurunan volume darah serebral, dan penurunan TIK. Pemberian terapi
antikonvulsan untuk mencegah kejang setelah trauma kepala yang menyebabkan
kerusakan otak sekunder karena hipoksia (klorpromazin tanpa tingkat kesadaran).
Pasang NGT bila terjadi motilitas lambung dan peristaltik terbalik akibat
cedera kepala.
2.
Penatalaksanaan Keperawatan
Pengkajian yang
dilakukan dalam penatalaksanaan keperawatan cedera kepala menurut Batticaca. FB. 2008 :
a)
Riwayat
kesehatan
1.
Kapan cedera
terjadi
2.
Apa penyebab
cedera
3.
Apa peluru
kecepatan tinggi
4.
Apa objek yang
membentur
5.
Bagaimana
proses terjadinya cedera pada kepala, apa karena jatuh
6.
Darimana arah
datangnya pukulan, bagaimana kekuatan pukulan
7.
Apakah klien
kehilangan kesadaran Berapa lama durasi dari periode sadar
8.
Dapatkah klien
dibangunkan
b)
Riwayat tidak
sadar atau anamnesis setelah cedera kepala menunjukkan derajat kerusakan otak
yang berarti, dimana perubahan selanjutnya dapat menunjukkan pemulihan atau
terjadinya kerusakan otak sekunder.
c)
Tingkat
kesadaran dan responsivitas dengan GCS
d)
Tanda vital
e)
Fungsi motorik
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada trauma kepala menurut Grace,
Piere A. 2006:
a.
Rontgen
tengkorak : AP, lateral dan posisi Towne
b.
CT Scan / MRI :
menunjukkan kontusio, hematoma, hidrosefalus, edema serebral.
c.
Pengkajian
neurologis (Batticaca. FB. 2008)
d.
GDA (Gas Darah
Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat
meningkatkan TIK.
e.
Angiografi
Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
f.
EEG : memperlihatkan
keberadaan/ perkembangan gelombang.
g.
Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur
pergeseran struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya
frakmen tulang).
J. KOMPLIKASI
Menurut
Mansjoer, (2000) komplikasi yang dapat terjadi pada cedera kepala adalah :
a.
Kebocoran cairan serebrospinal dapat
disebabkan oleh rusaknya leptomeningen
dan terjadi pada 2 – 6% pasien dengan cedera kepala tertutup.
b.
Fistel
karotis-kavernosus ditandai oleh trias gejala : eksolelamos, kemosis,dan bruit orbita, dapat timbul segera atau
beberapa hari setelah cedera.
c.
Diabetes insipidus dapat disebabkan
oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik.
d.
Edema pulmonal, komplikasi paru-paru
yang serius pada pasien cedera kepala adalah edema paru. Ini mungkin terutama
berasal dari gangguan neurologis atau akibat dari sindrom distres pernapasan
dewasa.
e.
Kejang pasca trauma dapat terjadi
segera (dalam 24 jam), dan (minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A.
PENGKAJIAN.
1. Identitas
Meliputi nama, umur,
jenis kelamin, pendidikan , alamat, pekerjaan, agama, tanggal dan jam masuk, no
MR, diagnosis medis dll.
2. Riwayat
Kesehatan
Keluhan utama yang
sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan tergantung dari
seberpa jauh dampak trauma kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.
a.
Riwayat
kesehatan sekarang.
Biasanya klien yang
mengalami trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu lintas, jatuh
dariketinggian, dan trauma langsung ke kepala, akan mengalami penuruna tingkat
kesadaran ( GCS <15 ), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, lemah,
tejadi luka di kepala, paralissis, akumulasi sekret pada saluran pernapasan,
adanya liquor dari hidung, dan telinga serta kejang.Adanya penuruna kesadran
dihubungkan karna terjadinya perubahan di dalam intrakranial.Sesuai denga
perkembangan penyakit, dapat terjadi letagi, tidak responsif dan bahkan koma.
b.
Riwayat
kesehatan dahulu
Biasanya klien
mengalami riwayat cedera kepala sebelumnya, dan mengalami riwayat penyakit yang
memicu terjadinya suatu kejadian yang mengakibatkan terjadinya cedera kepala
serta yang memepengaruhi kondisi kesehatan klien saat ini, seperti : hipertensi,
penyakit jantung, diabetes melitus serta adanya penggunaan obat-obat
antikoagulan, aspirin, obat-obat adiktif,konsumsi alkohol yang berlebihan.
c.
Riwayat
kesehatan keluarga
Kaji apakah ada anggota
keluraga yang menderita penyakit keturunan seperti hipertensi, penyakit
jantung, diabetes melitus, serta yang menderita penyakit menular lainnya.
3. Pemeriksaan
fisik.
Pemeriksaan fisik
dilakukan per sistem mulai dari ( B1-B6
)dengan fokus pemeriksaaan fisik pada pemeriksaan B3( brain )yang terarah dan
dihubungkan dengan keluha-keluhan dari klien.
1. Keadaan
umum
Pada keadaan cedera
kepala umumnya klien mengalami penurunan kesardaran, biasanya pada klien dengan
:
a. Cedera
kepala ringan, GCS 13-15
b. Cedera
kepala sedang, GCS 9-12
c. Cedera
kepala berat, GCS kurang atau sama dengan 8.
2. B1
( Breathing )
Inspeksi :biasanya
didapatkan klien dengan batuk, sesak npas, pengguanaan otot bantu pernapasan
dan peningkatan frekuensi pernapasan, pada ekspansi dada biasanya terjadi
ketidaksimetrisan yang mungkin menunjukkan adanya atelektasis, lesi pada peru,
obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pneumothoraks, atau penempatan
endotrakeal. Dan tube trakeostomi yang kuran tepat.pada ekspansi dada juga
perlu di nilai retraksi dari otot-otot interkostal, substernal, pernapasan
abdomen.
Palpasi : Biasanya
fremitus akan menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan
apabila melibatkan trauma pada rongga thorak.
Perkusi : Biasanya
terdapat adanya suara redup dan pekak pada keadaan yang melibatkan trauma pada
thoraks / hemothoraks.
Auskultasi : Biasanya
terdapat bunyi napas tambahan seperti stridor, ronkhi pada klien dengan
peningkatan sekret.
3. B2
( Blood )
Pada pemeriksaan
jantung biasnya ditemukan beberpa keadaan seperti tekanan darah meningkat dan
kadang juga akan menurun, nadi bradikardi, takikardi, dan aritmia.nadi cepat
dan lemah berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan
kebutuhan oksigen perifer.Nadi bradikardi merupakan tanda dari perubahan
perfusi jaringan otak.Kulit kelihatan pucat menandakan adanya penurunan kadar
hemoglobin dalam darah.Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan
dan tanda-tanda dari suatu syok.
4. B3
( Brain )
a. Pemeriksaan
fungsi serebral
1. Status
mental : biasnya status mental akan mengalami perubahan
2. Fungsi
intelektual : biasanya klien cedara kepala akan mengalami penurunan dalam
ingatan dan memori baik jangka pendek maupun jangka panjang.
3. Lobus
frontal : kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapat bila
traumakepala mengakibatkan adanya kerusakan pada lobus frontal kapasitas,
memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin
rusak.disfungsi ini di tunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan
dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi yang mengakibatkan klien ini
menghadapi masalah frustasi dalamprogram rehabilitasi mereka.Masalah psikologis
lainnya juga bisa terjadi dan di manifestasikan oleh labilitas emosional,
bermusuhan, frustasi , dendam dan kurang kerja sama.
4. Hemisfer
: cedera kepala pada hemisfer kiri, mengalami hemiparese kanan, perilaku lambat
dan sangat hati-hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global,
afasia.
b. Pemeriksaan
saraf kranial.
1. Nervus
I
Cedera kepala yang
merusak anatomisdan fisiologis saraf ini, klien akan mengalami kelainan pada
fungsi penciuman atau anosmia unilateral dan bilateral.
2. Nervus
II
Hematoma palpebra pada
klien cedera kepala akan menurunkan lapangan penglihatan dan dan menggagu
fungsi dari nervus optikus.
3. Nervus
III, IV, dan VI
Gangguan mengangkat
kelopak mata terutama pada klien dengan trauma yang merusak ronga
orbital.Biasanya di jumpai keadaan seperti anisokoria diman gejala ini di
anggap sebgai tanda serius jika mdrisis itu tidak bereaksi pada
penyinaran.tanda awal herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak berreaksi
pada penyinaran.jika pada trauma kepala terdapat anisokoria dimana bukannya
midriasis yang ditemukan, melainkan miosis yag bergandengan denga pupil yang
normal pada sisi yang lain, maka pupil yang miosislah yang abnormal.Miosis ini
disebabkan oleh lesi lobus frontalis ipsilateral yang mengelola pusat
silspinal.Hilangnya fungsi itu berarti pusat silospinal menjadi tidak aktif,
sehingga pupil tidak berdilatasi melainka berkonstriksi.
4. Nervus
V
Cedera kepala
menyebabkan peralisis nervus trigeminus, didapatka penurunan kemampuan
koordinasi gerakan mengunyah.
5. Nervus
VII
Persepsi pengecapan
mengalami perubahan.
6. Nervus
VIII
Perubahan fungsi
pendengaran pada klien dengan cedera ringan biasnya tidak di dapatkan apabila
trauma yang terjadi tidak melibatkan saraf vestibulokoklearis
7. Nervus
IX dan X
Kemampuan menelan
kurang baik, kesukaran membuka mulut.
8. Nervus
XI
Bila tidak melibatkan
trauma pada leher, mobilitas klien cukup baik dan tidak ada atrofi otot
strenokleidomastoideus dan trapezius.
9. Nervus
XII
Indra pengecapan mengalami perubahan.
c. Sistem
motorik
1. Inspeksi
umu, didapatkan hemiplegia ( paralisi pada salah satu sisi ) karena sisi pada
sisi otak yang berlawanan.hemiparesis ( kelemahan salah satu sisi tubuh )adalah
tanda yang lain.
2. Tonus
otot, didapatkan menurun sampai hilang.
3. Kekuatan
otot, pada penilaian dengan menggunakan grade kekuatan otot didapatkan grade 0.
4. Keseimbangan
dan koordinasi, didapatkan mengalami gangguan karena hemiparese dan hemiplegia.
d. Pemeriksaaan
refleks.
1. Pemeriksaan
reflek dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat
refleks pada respons normal.
2. Pemeriksaan
reflek patologis, pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan
meghilangsetelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali di
dahului dengan reflek patologis.
e. Sistem
sensorik
Biasnya terjadi
kehilangan propriosepsi ( kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian
tubuh ) serta kesulitan dalam menginterprestasikan stimuli visual, taktil dan
auditorius.
5. B4
( Bladder )
Biasanya keadaan
urine akan mengalami perubahan seperti, warna, jumlah dan
karakteristiknya.Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal.
6. B5
( Bowel )
Biasanya terjadi
kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut, pola
defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
7. B6
( Bone )
Biasanya terjadi kelemahan pada
seluruh ekstremitas, warna kulit kuning, sianosis, anemia,.
B.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko
tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan desak ruang
sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya paerdarahan baik bersifat intraserebral
hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
2. Ketidakefektifan
pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat pernapasan di otak,
kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena
akumulasi udara / cairan dan perubahan perbandingan O2 dan CO2 kegagalan ventilaor
3. Tidak
efektif bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan penunumpukan sputum peningkatan
sekresi sekret penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan kelatihan
4. Perubahan
kenyamanan : nyeri akut berhubungan dengan trauma jarinagn dan reflek spasme
otot sekunder
5. Gangguan
perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan edema pada otak
6. Gangguan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yanh berhubungan dengan perubahan
kemammpuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme.
7. Gangguan
komuknikasi verbal berhubungan dengan terpasangnya endotrakeal dan paralisis
atau kelemahan neuromuskuler.
C.
INTERVENSI KEPERWATAN.
NO
|
DIAGNOSA KEPERAWATAN
|
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL
|
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1.
|
Resiko
tinggi TIK b/d desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dar adanya
perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan
epidural hematoma.
|
Tujuan :
dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria
hasil : klien tidak gelisah, tidak mengeluh keala nyeri, mual dan muntah, GCS
4,5,6, tidak terdapat papiledema, TTV normal.
|
1. Kaji
faktor penyebab peningkatan TIK
2.
Monito TTV tiap empat jam
3.
Berikan periode istirahat antara
tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur
4. Cegah atau
hindari terjadinya falsafah manufer
|
1. Deteksi
dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji sttus neurologis atau tanda
kegagalan untuk menentukan tindakan pembedahan
2. Suatu
keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara debgan baik atau fluktasi
di tandai dengan tekanan darah siskemik, penurunan dari autoreguer kebanyakan
merupakan tanda penurunan difusi lokal vaskularisasi daraj serebral.
3. Tindakan
yang terus menerus dapat meningkatkan TIK oleh efek rangsangan komulatif.
4. Mengurangi
tekanan intratorakal dan intraabdominal sehingga menghindari peningkatan TIK.
|
2.
|
Ketidakefektifan
pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat pernapasan di
otak, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal
karena akumulasi udara / cairan dan perubahan perbandingan O2 dan CO2
kegagalan ventilaor
|
Tujuan :
dalam waktu 3x24jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola nafas kembali
efektif.
Kriteria
hasil :
Memperlihatkan
frekuensi pernafasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas2 pada
paru, daptif mengatasi faktor penyebab.
|
1.
Berikan posisi nyaman,biasanya
dengan posisi semi fowler.
2.
Observasi fungsi pernafasan, catat
frekuensi,dispnea,perubahan TTV
3.
bantulah klien untuk mengontrol
pernafasan jika ventilator tiba2 berhenti.
4. kolaborasi dengan tim kesehatan
lain pemberian antibiotik,analgesik,fisoterapi dada dan konsul foto toraks
|
1.Meningkatkan
inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang
tidak sakit.
2. distres
pernafasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stres
fisiologi dan nyri atau dapat menunjukn dapat terjadinya syok sehubungna
dengan hipoksia.
3. melatih
klien untuk mengatur nafas seperti nafas dalam,pengaturan posisi dan teknik
relaksasi dapat membantu memaksimalkan fungsi dari sistem pernafsan.
4.
Untuk mengevaluasi perbaikan atas
pengembangan parunya.
|
3.
|
Tidak efektif bersihan jalan nafas yang
berhubungan dengan penunumpukan sputum peningkatan sekresi sekret penurunan
batuk sekunder akibat nyeri dan kelatihan
|
Tujuan :
Dalam
waktu 3x24jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan nafas.
Kriteria
hasil :
Bunyi
nafas terdengar bersih, tidak ada suara nafas tambahan
|
1.
Kaji keadaan jalan nafas
2.
Evaluasi pergerakan dada dan
auskultasi suara nafas pada kedua paru.
3.
Catat adanya batuk, bertambahnya
sesak napas dan pengeluaran sekret melalui endotrakeal dan bertambahnya bunyi
ronki.
4.
Anjurkan klien dengan teknik batuk
selama penghisapan seperti waktu bernapas panjang, batuk kuat, bersin jika
ada indikasi.
5.
Kolaborasi dengan tim kesehatan
lain pemberian ekspektoran, entibiotik, fisioterapi dada dan konsul foto
thorak.
|
1.
Obstruksi mungkin dapat disebabkan
oleh akumulasi sekret,sisa cairan mukus,perdarahan,dan bronkospsame
2.
Pergerakan dada yang simetris
dengan suara nafas yang keluar dari paru-paru menandakan jalan nafas tidak
terganggu.
3.
Selama intubasi klien mengalami
reflek batuk yang tidak dapat efektif. Semua klien tergantung dari alternatif
yang dilakukan seperti menghisap lendir dari jalan nafas.
4.
Batuk yang efektif dapat
mengeluarkan sekret dari saluran napas.
5.
Ekspektoran untuk memudahkan
mengeluarkan lendir dan mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas
pengembangan paru nya.
|
DAFTAR PUSTAKA
Arif
mutataqin.2008.asuhan keperwatan klien dengan gangguan sistem
persarafan.jakarta : EGC.
Gyton dan hall.buku ajar fisiologi kedokteran.edisi
15.jakarta :EGC
Doenges,
Marilynn E., 1999, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, EGC : Jakarta
Brunner
& Suddarth.2000.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta:EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar